Dulu stren kali jagir merupakan wilayah tempat tinggal bagi pemulung kota. Bangunan-bangunan semi permanen berdiri sepanjang stren kali mulai dari kawasan barata jaya hingga kawasan wonorejo nampak begitu padat. Padatnya bangunan di sepanjang stren kali tersebut menyebabkan penyempitan sungai sehingga berpotensial menjadi penyebab banjir. Selain itu kawasan tersebut merupakan wilayah sempadan sungai yang memang merupakan tempat yang dilarang untuk didirikan bangunan.
Hal itulah yang menyebabkan terjadinya penggusuran di kawasan stren kali jagir pada awal tahun 2000an. Akibatnya terjadi exodus besar-besaran penduduk di kawasan itu. Sebagian dari mereka ada yang dipindahkan ke rusun, sebagian lagi memilih pulang kampung, sebagian lagi pindah ke wilayah keputih di belakang TPA, dan sebagian lagi mencari tempat baru. Salah satu di antara mereka, Marjito yang juga merupakan ketua Ikatan Pemulung Indonesia, pindah ke kawasan Kutisari Utara dan membuat lapak baru di sana.
peduli sampah
Jumat, 25 Februari 2011
Senin, 21 Februari 2011
Kondisi Pengelolaan Sampah Kita Saat Ini
Idealnya, pengelolaan sampah di TPST mampu menyerap segala jenis sampah yang memiliki nilai ekonomis atau pun sampah yang masih bisa didaur ulang. Dengan begitu tujuan pengelolaan sampah untuk memperpanjang usia TPA bisa terpenuhi. Tapi fakta yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Masih banyak jenis sampah yang bisa didaur ulang yang tidak tersaring oleh pemilah. Hal ini dikarenakan para pemilah tidak mengetahui jenis sampah tersebut termasuk sampah yang masih memiliki nilai ekonomis atau pun murahnya harga jenis sampah tersebut. Jenis plastik pvc bening misalnya. Karena nilai jualnya yang rendah, hanya Rp.200,-/kg para pemulung di TPST tidak menyaring sampah tersebut dan mencampurkannya ke dalam residu. Begitu juga dengan jenis sampah pp bimoli. Umumnya para pemulung mengambil sampah dari jenis kertas, kardus, plastik daun (HD), maupun plastik atom (botol, gelas, dsb).
Banyaknya jenis sampah yang dianggap sebagai residu tersebut menyebabkan fungsi TPST sebagai lokasi pengelolaan sampah tidak berfungsi secara maksimal. Permasalahan ini perlu diperhatikan secara serius. Agar tidak makin banyak sampah daur ulang yang dibuang sebagai residu, para pemulung perlu diberi informasi mengenai jenis-jenis sampah yang bernilai ekonomis. Dengan begitu, sampah yang terangkut ke TPA benar-benar merupakan residu. Selain itu, para pemulung perlu difasilitasi dalam hal penjualan hasil lapak mereka. Dengan ketersediaan buyer yang bersedia membeli hasil pulungan dapat memacu para pemulung untuk menyaring lebih banyak lagi sampah yang bisa didaur ulang.
Selengkapnya...
Sampah Kita
Bagi orang-orang yang tidak bergelut dengan sampah, persoalan sampah selesai ketika sampah yang mereka hasilkan dibuang ke tong-tong sampah. Dari tong-tong sampah itu akan dibawa lagi ke Tempat Penampungan Sementara lalu diangkut lagi ke Tempat Penampungan Akhir (TPA). Atau, karena tidak adanya fasilitas pengangkutan sampah lalu membuang sampah di tanah-tanah kosong atau pun di sungai.
Fenomena seperti ini sering disebut dengan NIMBY (not in my back yard). Dengan kata lain, sampah tidak menjadi persoalan selama timbulan sampah tidak ada di pekarangan rumah. Jadi tumpukan sampah di TPA atau pun di lahan-lahan kosong yang berpotensi mencemari media lingkungan seperti tanah, air, dan udara, bukanlah sebuah persoalan karena semua itu tidak tampak di depan mata. Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah disebutkan bahwa Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.
Selengkapnya...