Jumat, 25 Februari 2011

Bermodal Kegigihan

Dulu stren kali jagir merupakan wilayah tempat tinggal bagi pemulung kota. Bangunan-bangunan semi permanen berdiri sepanjang stren kali mulai dari kawasan barata jaya hingga kawasan wonorejo nampak begitu padat. Padatnya bangunan di sepanjang stren kali tersebut menyebabkan penyempitan sungai sehingga berpotensial menjadi penyebab banjir. Selain itu kawasan tersebut merupakan wilayah sempadan sungai yang memang merupakan tempat yang dilarang untuk didirikan bangunan.
Hal itulah yang menyebabkan terjadinya penggusuran di kawasan stren kali jagir pada awal tahun 2000an. Akibatnya terjadi exodus besar-besaran penduduk di kawasan itu. Sebagian dari mereka ada yang dipindahkan ke rusun, sebagian lagi memilih pulang kampung, sebagian lagi pindah ke wilayah keputih di belakang TPA, dan sebagian lagi mencari tempat baru. Salah satu di antara mereka, Marjito yang juga merupakan ketua Ikatan Pemulung Indonesia, pindah ke kawasan Kutisari Utara dan membuat lapak baru di sana.

Di tempat barunya itu Marjito memulai usahanya dari nol kembali. Sebuah mesin pencacah plastik yang diperolehnya dari bantuan hancur akibat penggusuran. Begitu juga dengan sampah plastik yang sudah dikumpulkannya. “anggep ae pok,” (anggap saja impas) katanya. Lalu bersama dengan beberapa orang anak buahnya dia mulai mengelola bisnis sampahnya kembali.
Perlahan-lahan bisnis sampah yang dikelolanya mulai bangkit. Setiap hari armadanya bergerak mengangkut sampah-sampah pertokoan yang ada di Surabaya di antaranya Carefour Rungkut, Surabaya Town Square, dan sebagainya untuk di bawa ke Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS). Di TPS tersebut sampah-sampah yang masih memiliki nilai ekonomis dipilah untuk dibawa ke lapaknya di kawasan Kutisari. Sedangkan residunya diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Lambat laun usahanya makin berkembang. Marjito juga membuka lahan di kawasan Medokan Semampir untuk dijadikan sebagai gudang. Dari lapaknya di kutisari sampah kembali dipilah sesuai dengan jenisnya. Setelah selesai dipilah sampah dibawa ke lapaknya di kawasan Medokan Semampir. Sekarang lapaknya di kawasan medokan semampir itu telah berkembang menjadi sebuah pabrik kecil yang mengolah sampah plastik. Di sana terdapat sebuah mesin pencacah plastik. Saat ini kurang lebih ada 20 orang yang bekerja dalam bisnisnya.
Keberhasilannya sekarang ini bermula dari sebuah kolong jembatan di kota Surabaya ini. “Dulu kalau sore hari kami bersama teman-teman kami keluar untuk mencari sisa-sisa makanan untuk dimakan bersama-sama,” kata Marjito. Bukan hanya itu, dia juga merupakan eks-penghuni panti sosial Mardi Mulyo di Sidoarjo. Ulet, tahan banting, jujur, dan disiplin yang tinggi telah mengantarkannya ke tempatnya yang sekarang. Selain itu dedikasinya di bidang sosial juga tinggi. Pada tahun 2007 Marjito mendapat penghargaan dari Gubernur. Kini dia tinggal memetik buah dari kerja kerasnya selama ini.
Selengkapnya...

Senin, 21 Februari 2011

Kondisi Pengelolaan Sampah Kita Saat Ini

Idealnya, pengelolaan sampah di TPST mampu menyerap segala jenis sampah yang memiliki nilai ekonomis atau pun sampah yang masih bisa didaur ulang. Dengan begitu tujuan pengelolaan sampah untuk memperpanjang usia TPA bisa terpenuhi. Tapi fakta yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Masih banyak jenis sampah yang bisa didaur ulang yang tidak tersaring oleh pemilah. Hal ini dikarenakan para pemilah tidak mengetahui jenis sampah tersebut termasuk sampah yang masih memiliki nilai ekonomis atau pun murahnya harga jenis sampah tersebut. Jenis plastik pvc bening misalnya. Karena nilai jualnya yang rendah, hanya Rp.200,-/kg para pemulung di TPST tidak menyaring sampah tersebut dan mencampurkannya ke dalam residu. Begitu juga dengan jenis sampah pp bimoli. Umumnya para pemulung mengambil sampah dari jenis kertas, kardus, plastik daun (HD), maupun plastik atom (botol, gelas, dsb).
Banyaknya jenis sampah yang dianggap sebagai residu tersebut menyebabkan fungsi TPST sebagai lokasi pengelolaan sampah tidak berfungsi secara maksimal. Permasalahan ini perlu diperhatikan secara serius. Agar tidak makin banyak sampah daur ulang yang dibuang sebagai residu, para pemulung perlu diberi informasi mengenai jenis-jenis sampah yang bernilai ekonomis. Dengan begitu, sampah yang terangkut ke TPA benar-benar merupakan residu. Selain itu, para pemulung perlu difasilitasi dalam hal penjualan hasil lapak mereka. Dengan ketersediaan buyer yang bersedia membeli hasil pulungan dapat memacu para pemulung untuk menyaring lebih banyak lagi sampah yang bisa didaur ulang.
Selengkapnya...

Sampah Kita


Setiap aktivitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah yang jumlah dan volumenya sebanding dengan tingkat konsumsinya. Entah itu puntung rokok, kulit kacang yang dikudap di warung, bungkus makanan, mau pun tinja yang dihasilkan oleh sistem pencernaan kita, semua itu mengambil ruang tersendiri di atas bumi yang kita tinggali. Begitu juga dengan sisa ampas kopi yang kita minum. Namun semua sampah yang kita hasilkan setiap hari itu tidak lenyap begitu saja. Hukum kekekalan energi menyebutkan, energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Begitu juga dengan sampah yang kita hasilkan setiap hari. Semua itu pasti ada di suatu tempat. Lalu, ke mana semua itu pergi?

Bagi orang-orang yang tidak bergelut dengan sampah, persoalan sampah selesai ketika sampah yang mereka hasilkan dibuang ke tong-tong sampah. Dari tong-tong sampah itu akan dibawa lagi ke Tempat Penampungan Sementara lalu diangkut lagi ke Tempat Penampungan Akhir (TPA). Atau, karena tidak adanya fasilitas pengangkutan sampah lalu membuang sampah di tanah-tanah kosong atau pun di sungai.
Fenomena seperti ini sering disebut dengan NIMBY (not in my back yard). Dengan kata lain, sampah tidak menjadi persoalan s
elama timbulan sampah tidak ada di pekarangan rumah. Jadi tumpukan sampah di TPA atau pun di lahan-lahan kosong yang berpotensi mencemari media lingkungan seperti tanah, air, dan udara, bukanlah sebuah persoalan karena semua itu tidak tampak di depan mata. Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah disebutkan bahwa Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.
Namun bagi orang-orang yang bergelut dengan sampah, persoalan sampah tidak hanya berhenti sampai di Tempat Penampungan Akhir. Persoalan sampah juga diperhatikan dari segi lingkungan dan ketersediaan lahan yang digunakan sebagai TPA. Dari sudut lingkungan, sampah yang dihasilkan dari proses kegiatan manusia diupayakan agar tingkat pencemaran terhadap media lingkungan seperti udara, air, dan tanah, dapat ditekan serendah mungkin. Sedangkan dari sudut ruang, usia TPA harus diperpanjang dengan jalan mengurangi sampah yang masuk ke TPA.
Dalam skala kecil, sampah-sampah yang ditimbun sembarangan tidak nampak sebagai ancaman yang mengerikan. Paling-paling hanya menimbulkan bau busuk di sekeliling dan menjadi sarang lalat atau sumber penyakit. Namun dalam skala besar timbulan sampah dapat menyebabkan dampak yang luar biasa bagi bumi. Sampah yang ditumpuk dapat menghasilkan gas metan. Selain itu tanah yang digunakan sebagai lahan penimbunan tidak dapat digunakan untuk kegiatan produktif. Sebab sampah-sampah organik mau pun anorganik memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun agar bisa teruari dengan tanah. Bahkan ada sampah yang sama sekali tidak bisa diurai oleh proses alam. Sedangkan air lindi yang dihasilkan dari timbulan sampah akan meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Pencemaran air tanah tersebut sangat buruk bagi persediaan air di bumi
Hal lain yang perlu disadari adalah tingginya biaya pengelolaan sampah. Operasional pengangkutan dari rumah tangga sampai ke TPA mau pun pengelolaan di TPS memerlukan biaya yang banyak. Belum lagi persoalan ketersediaan lahan untuk menampung residu timbulan sampah. Namun kesediaan masyarakat untuk membayar biaya pengelolaan sampah relatif rendah. Rendahnya tingkat pengorbanan masyarakat untuk memberikan kontribusinya berbanding terbalik dengan jumlah timbulan sampah yang dihasilkan setiap hari. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan sampah menyebabkan terjadinya hal tersebut.
Oleh karena itu persoalan sampah tidak hanya berhenti pada tahap collecting saja atau menimbun sampah dengan menggunakan metode open dumping di TPA. Sebagai bagian dari kegiatan manusia, sampah memerlukan penanganan khusus dan berkelanjutan. Sampah juga harus ditangani mulai dari hulu sampai hilir. Sampah sudah harus dipilah mulai dari tingkat rumah tangga. Lalu dikelola kembali di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Dari TPST residu diangkut ke TPA yang menggunakan sistem sanitari landfill. Dengan begitu tingkat pencemaran yang dihasilkan oleh timbulan sampah, ketersediaan ruang yang diperlukan sebagai tempat penimbunan, dan biaya pengelolaan timbulan sampah dapat ditekan.
Jadi yang manakah pilihan anda: membiarkan sampah terus bertumpuk tanpa dikelola yang akan menyebabkan munculnya TPA-TPA baru karena TPA yang ada tidak cukup untuk menampung jumlah volume sampah yang masuk atau mengurangi timbulan sampah mulai dari sekarang? Biarlah hati anda yang menjawabnya.

Selengkapnya...