Setiap aktivitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah yang jumlah dan volumenya sebanding dengan tingkat konsumsinya. Entah itu puntung rokok, kulit kacang yang dikudap di warung, bungkus makanan, mau pun tinja yang dihasilkan oleh sistem pencernaan kita, semua itu mengambil ruang tersendiri di atas bumi yang kita tinggali. Begitu juga dengan sisa ampas kopi yang kita minum. Namun semua sampah yang kita hasilkan setiap hari itu tidak lenyap begitu saja. Hukum kekekalan energi menyebutkan, energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Begitu juga dengan sampah yang kita hasilkan setiap hari. Semua itu pasti ada di suatu tempat. Lalu, ke mana semua itu pergi?
Bagi orang-orang yang tidak bergelut dengan sampah, persoalan sampah selesai ketika sampah yang mereka hasilkan dibuang ke tong-tong sampah. Dari tong-tong sampah itu akan dibawa lagi ke Tempat Penampungan Sementara lalu diangkut lagi ke Tempat Penampungan Akhir (TPA). Atau, karena tidak adanya fasilitas pengangkutan sampah lalu membuang sampah di tanah-tanah kosong atau pun di sungai.
Fenomena seperti ini sering disebut dengan NIMBY (not in my back yard). Dengan kata lain, sampah tidak menjadi persoalan selama timbulan sampah tidak ada di pekarangan rumah. Jadi tumpukan sampah di TPA atau pun di lahan-lahan kosong yang berpotensi mencemari media lingkungan seperti tanah, air, dan udara, bukanlah sebuah persoalan karena semua itu tidak tampak di depan mata. Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah disebutkan bahwa Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.
Namun bagi orang-orang yang bergelut dengan sampah, persoalan sampah tidak hanya berhenti sampai di Tempat Penampungan Akhir. Persoalan sampah juga diperhatikan dari segi lingkungan dan ketersediaan lahan yang digunakan sebagai TPA. Dari sudut lingkungan, sampah yang dihasilkan dari proses kegiatan manusia diupayakan agar tingkat pencemaran terhadap media lingkungan seperti udara, air, dan tanah, dapat ditekan serendah mungkin. Sedangkan dari sudut ruang, usia TPA harus diperpanjang dengan jalan mengurangi sampah yang masuk ke TPA.
Dalam skala kecil, sampah-sampah yang ditimbun sembarangan tidak nampak sebagai ancaman yang mengerikan. Paling-paling hanya menimbulkan bau busuk di sekeliling dan menjadi sarang lalat atau sumber penyakit. Namun dalam skala besar timbulan sampah dapat menyebabkan dampak yang luar biasa bagi bumi. Sampah yang ditumpuk dapat menghasilkan gas metan. Selain itu tanah yang digunakan sebagai lahan penimbunan tidak dapat digunakan untuk kegiatan produktif. Sebab sampah-sampah organik mau pun anorganik memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun agar bisa teruari dengan tanah. Bahkan ada sampah yang sama sekali tidak bisa diurai oleh proses alam. Sedangkan air lindi yang dihasilkan dari timbulan sampah akan meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Pencemaran air tanah tersebut sangat buruk bagi persediaan air di bumi
Hal lain yang perlu disadari adalah tingginya biaya pengelolaan sampah. Operasional pengangkutan dari rumah tangga sampai ke TPA mau pun pengelolaan di TPS memerlukan biaya yang banyak. Belum lagi persoalan ketersediaan lahan untuk menampung residu timbulan sampah. Namun kesediaan masyarakat untuk membayar biaya pengelolaan sampah relatif rendah. Rendahnya tingkat pengorbanan masyarakat untuk memberikan kontribusinya berbanding terbalik dengan jumlah timbulan sampah yang dihasilkan setiap hari. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan sampah menyebabkan terjadinya hal tersebut.
Oleh karena itu persoalan sampah tidak hanya berhenti pada tahap collecting saja atau menimbun sampah dengan menggunakan metode open dumping di TPA. Sebagai bagian dari kegiatan manusia, sampah memerlukan penanganan khusus dan berkelanjutan. Sampah juga harus ditangani mulai dari hulu sampai hilir. Sampah sudah harus dipilah mulai dari tingkat rumah tangga. Lalu dikelola kembali di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Dari TPST residu diangkut ke TPA yang menggunakan sistem sanitari landfill. Dengan begitu tingkat pencemaran yang dihasilkan oleh timbulan sampah, ketersediaan ruang yang diperlukan sebagai tempat penimbunan, dan biaya pengelolaan timbulan sampah dapat ditekan.
Jadi yang manakah pilihan anda: membiarkan sampah terus bertumpuk tanpa dikelola yang akan menyebabkan munculnya TPA-TPA baru karena TPA yang ada tidak cukup untuk menampung jumlah volume sampah yang masuk atau mengurangi timbulan sampah mulai dari sekarang? Biarlah hati anda yang menjawabnya.
awaku rek nulis2 gak onok seng ngrespon ng warung ngopi lak enak
BalasHapus